Budaya Politik yang Berkembang di Indonesia
1. Era Demokrasi Parlementer (1945-1950) Budaya politik yang berkembang pada era Demokrasi Parlementer sangat beragam.
Dengan tingginya partisipasi massa dalam menyalurkan tuntutan mereka,
menimbulkan anggapan bahwa seluruh lapisan masyarakat telah berbudaya
politik partisipan. Anggapan
bahwa rakyat mengenal hak-haknya dan dapat melaksanakan kewajibannya
menyebabkan tumbuhnya deviasi penilaian terhadap peristiwa-peristiwa
politik yang timbul ketika itu (Rusadi Kantaprawira, 2006: 190). Percobaan
kudeta dan pemberontakan, di mana dibelakangnya sedikit banyak
tergambar adanya keterlibatan/keikutsertaan rakyat, dapat diberi arti
bahwa kelompok rakyat yang bersangkutan memang telah sadar, atau mereka
hanya terbawa-bawa oleh pola-pola aliran yang ada ketika itu.
Para elite Indonesia yang disebut penghimpun solidaritas (solidarity maker) lebih
nampak dalam periode demokrasi parlementer ini. Walaupun demikian,
waktu itu terlihat pula munculnya kabinet-kabinet yang terbentuk dalam
suasana keselang-selingan pergantian kepemimpinan yang mana kelompok adminitrators
memegang peranan. Kulminasi krisis politik akibat pertentangan
antar-elite mulai terjadi sejak terbentuknya Dewan Banteng, Dewan Gajah,
dan PRRI pada tahun 1958 (Rusadi Kantaprawira, 2006: 191). Selain itu, dengan gaya politik yang ideologis pada masing-masing partai politik menyebabkan tumbuhnya budaya paternalistik. Adanya ikatan dengan kekuatan-kekuatan politik yang berbeda secara ideologis mengakibatkan fungsi aparatur negara yang semestinya melayani kepentingan umum tanpa pengecualian, menjadi cenderung melayani
kepentingan golongan menurut ikatan primordial. Selain itu, orientasi
pragmatis juga senantiasa mengiringi budaya poltik pada era ini.
2. Era Demokrasi Terpimpin (Dimulai Pada 5 Juli 1959-1965) Budaya
politik yang berkembang pada era ini masih diwarnai dengan sifat
primordialisme seperti pada era sebelumnya. Ideologi masih tetap
mewarnai periode ini, walaupun sudah dibatasi secara formal melalui
Penpres No. 7 Tahun 1959 tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan
Kepartaian. Tokoh politik memperkenalkan gagasan Nasionalisme, Agama,
dan Komunisme (Nasakom). Gagasan tersebut menjadi patokan bagi
partai-partai yang berkembang pada era Demorasi Terpimpin. Dalam kondisi tersebut tokoh politik dapat memelihara keseimbangan politik (Rusadi Kantaprawira, 2006: 196).
Selain itu, paternalisme juga bahkan dapat hidup lebih subur di kalangan elit-elit politiknya. Adanya sifat kharismatik dan paternalistik yang tumbuh di kalangan elit politik dapat menengahi dan kemudian memperoleh dukungan dari pihak-pihak yang bertikai, baik dengan sukarela maupun
dengan paksaan. Dengan demikian muncul dialektika bahwa pihak yang
kurang kemampuannya, yang tidak dapat menghimpun solidaritas di arena
politik, akan tersingkir dari gelanggang politik. Sedangkan pihak yang
lebih kuat akan merajai/menguasai arena politik.
Pengaturan
soal-soal kemasyaraktan lebih cenderung dilakukan secara paksaan. Hal
ini bisa dilihat dari adanya teror mental yang dilakukan kepada
kelompok-kelompok atau orang-orang yang kontra revolusi ataupun kepada aliran-aliran yang tidak setuju dengan nilai-nilai mutlak yang telah ditetapkan oleh penguasa (Rusadi Kantaprawira, 2006: 197).
Dari
masyarakatnya sendiri, besarnya partisipasi berupa tuntutan yang
diajukan kepada pemerintah juga masih melebihi kapasitas sistem yang
ada. Namun, saluran inputnya dibatasi, yaitu hanya melalui Front Nasional. Input-input yang masuk melalui Front Nasional tersebut menghasilkan output yang berupa output
simbolik melalui bentuk rapat-rapat raksasa yang hanya menguntungkan
rezim yang sedang berkuasa. Rakyat dalam rapat-rapat raksasa tidak dapat
dianggap memiliki budaya politik sebagai partisipan, melainkan menujukkan tingkat budaya politik kaula, karena diciptakan atas usaha dari rezim.
3. Era Demokrasi Pancasila (Tahun 1966-1998) Gaya
politik yang didasarkan primordialisme pada era Orde Baru sudah mulai
ditinggalkan. Yang lebih menonjol adalah gaya intelektual yang pragmatik
dalam penyaluran tuntutan. Dimana pada era ini secara material,
penyaluran tuntutan lebih dikendalikan oleh koalisi besar (cardinal coalition)
antara Golkar dan ABRI, yang pada hakekatnya berintikan teknokrat dan
perwira-perwira yang telah kenal teknologi modern (Rusadi Kantaprawira,
2006: 200).
Sementara
itu, proses pengambilan keputusan kebijakan publik yang hanya
diformulasikan dalam lingkaran elit birokrasi dan militer yang terbatas
sebagaimanaa terjadi dalam tipologi masyarakat birokrasi. Akibatnya
masyarakat hanya menjadi objek mobilisasi kebijakan para elit politik
karena segala sesuatu telah diputuskan di tingkat pusat dalam lingkaran
elit terbatas.
Kultur
ABS (asal bapak senang) juga sangat kuat dalam era ini. Sifat birokrasi
yang bercirikan patron-klien melahirkan tipe birokrasi patrimonial,
yakni suatu birokrasi dimana hubungan-hubungan yang ada, baik intern
maupun ekstern adalah hubungan antar patron dan klien yang sifatnya
sangat pribadi dan khas.
Dari
penjelasan diatas, mengindikasikan bahwa budaya politik yang berkembang
pada era Orde Baru adalah budaya politik subjek. Dimana semua keputusan
dibuat oleh pemerintah, sedangkan rakyat hanya bisa tunduk di bawah
pemerintahan otoriterianisme Soeharto. Kalaupun ada proses pengambilan
keputusan hanya sebagai formalitas karena yang keputusan kebijakan
publik yang hanya diformulasikan dalam lingkaran elit birokrasi dan
militer.
Di
masa Orde Baru kekuasaan patrimonialistik telah menyebabkan kekuasaan
tak terkontrol sehingga negara menjadi sangat kuat sehingga peluang
tumbuhnya civil society terhambat. Contoh budaya politik Neo Patrimonialistik adalah :
a. Proyek di pegang pejabat.
b. Promosi jabatan tidak melalui prosedur yang berlaku (surat sakti).
c. Anak pejabat menjadi pengusaha besar, memanfaatkan kekuasaan orang tuanya dan mendapatkan perlakuan istimewa.
d. Anak pejabat memegang posisi strategis baik di pemerintahan maupun politik.
4. Era Reformasi (Tahun 1998-Sekarang) Budaya
politik yang berkembang pada era reformasi ini adalah budaya politik
yang lebih berorientasi pada kekuasaan yang berkembang di kalangan elit
politik. Budaya seperti itu telah membuat struktur politik demokrasi
tidak dapat berjalan
dengan baik. Walaupun struktur dan fungsi-fungsi sistem politik
Indonesia mengalami perubahan dari era yang satu ke era selanjutnya,
namun tidak pada budaya politiknya. Menurut Karl D. Jackson dalam Budi
Winarno (2008), budaya Jawa telah mempunyai peran yang cukup besar dalam
mempengaruhi budaya politik yang berkembang di Indonesia. Relasi antara
pemimpin dan pengikutnya pun menciptakan pola hubungan patron-klien
(bercorak patrimonial). Kekuatan orientasi individu yang berkembang
untuk meraih kekuasaan dibandingkan sebagai pelayan publik di kalangan elit merupakan salah satu pengaruh budaya politik Jawa yang kuat.
Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Agus Dwiyanto dkk dalam Budi Winarno
(2008) mengenai kinerja birokrasi di beberapa daerah, bahwa birokrasi
publik masih mempersepsikan dirinya sebagai penguasa daripada sebagai abdi yang bersedia melayani masyarakat dengan baik. Hal ini
dapat dilihat dari perilaku para pejabat dan elit politik yang lebih
memperjuangkan kepentingan kelompoknya dibandingkan dengan kepentingan
rakyat secara keseluruhan.
Dengan menguatnya budaya paternalistik,
masyarakat lebih cenderung mengejar status dibandingkan dengan
kemakmuran. Reformasi pada tahun 1998 telah memberikan sumbangan bagi
berkembangnya budaya poltik partisipan, namun kuatnya budaya politik
patrimonial dan otoriterianisme politik yang masih berkembang di
kalangan elit politik dan penyelenggara pemerintahan masih senantiasa
mengiringi. Walaupun rakyat mulai peduli dengan input-input politik, akan tetapi tidak diimbangi dengan para elit politik karena mereka masih memiliki mentalitas budaya politik sebelumnya. Sehingga budaya politik yang berkembang cenderung merupakan budaya politik subjek-partisipan.
Menurut
Ignas Kleden dalam Budi Winarno (2008), terdapat lima preposisi tentang
perubahan politik dan budaya politik yang berlangsung sejak reformasi
1998, antara lain:
- Orientasi Terhadap kekuasaan.Misalnya saja dalam partai politik, orientasi pengejaran kekuasaan yang sangat kuat dalam partai politik telah membuat partai-partai politik era reformasi lebih bersifat pragmatis.
- Politik mikro vs politik makro.Politik Indonesia sebagian besar lebih berkutat pada politik mikro yang terbatas pada hubungan-hubungan antara aktor-aktor politik, yang terbatas pada tukar-menukar kepentingan politik. Sedangkan pada politik makro tidak terlalu diperhatikan dimana merupakan tempat terjadinya tukar-menukar kekuatan-kekuatan sosial seperti negara, masyarakat, struktur politik, sistem hukum, civil society, dsb.
- Kepentingan negara vs kepentingan masyarakat.Realitas politik lebih berorientasi pada kepentingan negara dibandingkan kepentingan masyarakat.
- Bebas dari kemiskinan dan kebebasan beragama
- Desentralisasi politik
Pada
kenyataannya yang terjadi bukanlah desentralisasi politik, melainkan
lebih pada berpindahnya sentralisme politik dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah.
Dengan
demikian, budaya politik era reformasi tetap masih bercorak
patrimonial, berorientasi pada kekuasaan dan kekayaan, bersifat sangat
paternalistik,
dan pragmatis. Hal ini menurut Soetandyo Wignjosoebroto dalam Budi
Winarno (2008) karena adopsi sistem politik hanya menyentuh pada dimensi
struktur dan fungsi-fungsi politiknya, namun tidak pada budaya politik
yang melingkupi pendirian sistem politik tersebut.
Referensi:
Kantaprawira, Rusadi. 2006. Sistem Politik Indonesia Suatu Model Pengantar. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Cetakan ke X.
Marijan, Kacung. 2010. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Winarno, Budi. 2008. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Yogyakarta: Media Pressindo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar